Kamis, 10 November 2011

KHALIFAH

KHALIFAH
A. Sejarah Ringkas


Kajian Islam terbagi kepada berbagai bidang ilmu yang antara lain adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tawhid, ilmu kalam,
dan ilmu fikih. Ilmu kalam membahas tentang Tuhan, rasul-rasul, wahyu, akhirat, iman dan hal-hal yang berkaitan
dengan itu. Ilmu kalam disebut juga ilmu usuluddin, ilmu ‘aqa’id, dan teologi. Dalam mengkaji dan
membahas materi ilmu kalam ini terdapat bermacam-macam cara memahaminya di kalangan umat Islam. Paham yang
lahir dari suatu cara memahami materi ilmu kalam ini dalam bahasa Arab disebur firqah yang jamaknya firaq. Firqah
dalam bahasa Indonesia disebut aliran. Aliran-aliran dalam ilmu kalam disebut dalam bahasa Arab al-firaq al-Islamiyah.


Untuk aliran dalam fikih disebut mazhab. Namun, belakangan penggunaan sebutan-sebutan ini sudah tidak terlalu ketat
lagi sehingga kata mazhab kadang-kadang sudah digunakan oleh sementara orang untuk maksud aliran dalam ilmu
kalam. Persoalan yang pertama-tama muncul dalam Islam adalah persoalan di bidang politik. Waktu Nabi Muhammad
Saw. wafat, muncul persoalan siapa yang berhak menjadi penggantinya sebagai khalifah. Menurut sejarah, Abu Bakar
disetujui menjadi Khalifah pertama. Khalifah kedua, Umar, ketiga Usman, dan keempat Ali. Terbunuhnya Usman dan
naiknya Ali menjadi Khalifah keempat kemudian menimbulkan masalah.

Pada tahun 37 H, terjadi perang antara Ali sebagai Khalifah dan Mu‘awiyah sebagai Gubernur Syam. Perang ini
terjadi di Siffin sehingga perang ini dikenal dengan perang Siffin. Karena pasukan Mu‘awiyah terdesak dan sudah
siap untuk mundur, tangan kanannya yang terkenal licik, ‘Amr ibn al‘Ash minta berdamai dengan
mengangkatkan Al-Quran ke atas. Para qari di barisan Ali minta agar perdamaian itu diterima Ali. Ali dan sebagian
pengikutnya keberatan. Tapi, karena desakan, akhirnya Ali menyetujuinya. Disepakati bahwa Abu Musa alAsy‘ari
mewakili Ali dan ‘Amr ibn al‘Ash mewakili Mu‘awiyah. Dengan alasan menghormati orang tua,
‘Amr meminta Abu Musa lebih dahulu berdiri memakzulkan Ali dan kemudian ‘Amr memakzulkan
Mu‘awiyah. Setelah Abu Musa memakzulkan Ali, ‘Amr berdiri mengukuhkan Mu‘awiyah menjadi
Khalifah.


Kekacauan terjadi. Pasukan Ali yang sejak semula tidak setuju dengan perdamaian tipu itu keluar dari barisan ‘Ali
dan menjadi penentangnya dan sekaligus penentang Mu‘awiyah. Kelompok yang keluar ini disebut Khawarij.
Mereka memandang Ali, Mu‘awiyah, Abu Musa, ‘Amr ibn al‘Ash dan orang-orang yang setuju
dengan perdamaian yang disebut dalam sejarah arbitrase sebagai kafir. Tak berapa lama, Khawarij ini pecah pula
kepada beberapa sekte yang antara satu dengan lainnya saling mengkafirkan dan menghalalkan darahnya. Persoalan
kafir pun berkembang. Kalau tadinya kafir itu berarti orang yang tidak berhukum kepada Al-Quran, maka kemudian
pelaku dosa besar (murtakib alkabirah), yakni pembunuh Usman pun dihukum kafir. Ternyata, persoalan ini
menimbulkan tiga aliran.

Pertama Khawarij yang memandang pelaku dosa besar kafir. Kedua aliran Murji’ah yang memandang pelaku
dosa besar tetap mukmin dan hukumannya ditangguhkan kepada Mahkamah Allah untuk mengampuninya atau tidak
mengampuninya. Ketiga aliran Muktazilah yang memandang pelaku dosa besar berada di antara dua posisi mukmin dan
kafir (almanzilah bain almanzilatain). Di luar tiga golongan ini, masih tinggal golongan yang mengikuti paham mayoritas
umat Islam yang kemudian dikenal dengan golongan Ahlus Sunnah wa alJama‘ah. Al Hasan al Basri (w. 110 H)
Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) adalah di antara tokoh-tokoh Ahlus Sunnah.

Paham Ahlus Sunnah ini kemudian dipertegas oleh Abu al Hasan al Asy‘ari (w. 330 H). Menurut dia, Allah
mengetahui dengan ilmu, hidup dengan hayah, menghendaki dengan iradah. Ilmu Allah esa dan ta‘alluq
(berobjek) kepada segala yang maklum. Setiap yang wujud dapat dilihat. Karena itu, Allah dapat dilihat karena Ia wujud.
Pelaku dosa besar jika tidak taubat, maka hukumannya terserah kepada Allah. Manusia mujbar (terpaksa), tetapi Allah
memberi kasab baginya. Alquran adalah kalam Allah yang qadim. Selain Abu al Hasan al Asy‘ari, dikenal pula
Ahmad at Tahawi (w. 322 H) di Mesir dan Abu Mansur al Maturidi as Samarkandi (w. 333 H) yang ketiganya disebut
dalam sejarah sebagai pendiri aliran Sunni. Namun karena antara mereka terdapat juga perbedaan, maka yang lebih
tepat paham mereka dibanggakan kepada masing-masing. Misalnya, paham Asy‘ariyah, paham Maturidiyah dan
paham Tahawiyah.

Pendiri paham Mu‘tazilah adalah Wasil ibn ‘Ata’ (w. 131 H) di Basrah. Ia adalah murid al Hasan al
Basri. Ketika mendiskusikan hukum pelaku dosa besar, Wasil berdiri dari majlis alHasan dan pergi ke satu sudut dari
Masjid Basrah.Di sana ia berkata bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak Mukmin, melainkan almanzilah bain
almanzilatain (posisi di antara dua posisi). Sejak itu, paham ini berkembang menjadi satu aliran. Di atas telah disebutkan
pokok ajaran mereka. Menurut mereka, Al-Quran makhluk, manusia berbuat dengan kehendaknya sendiri, tidak ada
takdir, Tuhan tidak dapat dilihat, mengutus Rasul wajib bagi Allah.

Sebagai pengaruh penggunaan akal yang semakin besar dalam memahami nas, muncul pula paham Qadariyah dan
Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat (free will and free
act). Orang pertama berpaham Qadariyah adalah Ma‘bad alJuhani yang terbunuh pada tahun 80 H. Menurut
Jabariyah, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (predestination atau fatalism). Orang
pertama berpaham Jabariyah adalah Ja‘d ibn Dirham (w. 124 H). Kemudian, paham ini dikembangkan oleh
muridnya Jahm ibn Safwan yang dihukum mati dan dibunuh pada tahun 127 H karena menurut dia sorga dan neraka
akan binasa atau tidak kekal. Sekarang Agus Mustafa lahir di Indonesia membawa paham Jahm ibn Safwan ini dalam
bukunya yang berjudul, Ternyata Akhirat Tidak Kekal.

Pendukung Ali dalam bahasa Arab disebut Syi‘ah ‘Ali. Syi‘ah ‘Ali juga membentuk aliran
yang memiliki paham yang berbeda dengan lainnya. Syiah pun memiliki sekte-sekte. Ahlus Sunnah pun bermacammacam
pula yang pada garis besarnya ada dua, Salaf atau Salafi dan Khalaf. Paham Salaf diwakili Imam Ahmad ibn
Hambal (w.241 H), Abu al Hasan al Asy‘ari (w. 330 H) dan Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H), sedang paham Khalaf
diwakili al Baqillani (w.403 H) dan al Juwaini (w. 478 H). Perbedaan pokok antara Salaf dan Khalaf adalah soal takwil.
Takwil berarti memberi makna kepada nas Alquran dan Hadis dengan makna yang jauh, tidak makna zahirnya.
Misalnya, yadullah diartikan oleh Salaf dengan ‘tangan Allah.’ Khalaf mengartikannya dengan
‘kekuasaan Allah.’

Demikianlah lahir dan berkembang aliran-aliran dalam Islam. Masing-masing berkembang menjadi sekte-sekte.
Sebagian sekte ini masih dalam lingkaran Islam dan sebagian lagi sudah tergelincir dari Islam. Misalnya, sekte
‘Ajaridah dari Khawarij tidak mengakui surat Yusuf sebagi bagian dari Alquran. Sebab, menurut mereka cerita
porno tidak layak menjadi isi Kitab Suci Alquran. Sekte Saba’iyah dari Syi‘ah yang berpendapat bahwa
wahyu itu seharusnya diturunkan kepada Ali, tetapi Jibril tersalah menurunkannya kepada Muhammad Saw. Tentunya
paham-paham seperti ini sudah tergelincir dari Islam.
kalau sperti ini indonesia akan menjadi sperti negara-negara islan ditimur maupun yang lainya karna merujuk kepada sejarah perpecahan dan kakacauan setelah wafatnya nabi benar-benar luarbiasa.umat islan indonesia harus duduk sama-sama dalam menanggulangi kedepanya islam.