Selasa, 03 Januari 2012

RESOLUSI KONFLIK DI SEKOLAH


RES0LUSI KONFLIK DI SEKOLAH

Kekerasan yang terjadi dengan intensitas tinggi dalam sebulan terakhir ini patut diuji melalui serangkaian analisis, baik secara sosiologis maupun pedagogis. Secara sosial jangan-jangan bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat kita itu merupakan akumulasi dari gagalnya lembaga pendidikan kita dalam melakukan transfer pendidikan secara damai dan berkeadilan.
Secara pedagogis, jangan-jangan sekolah-sekolah kita memang tak memiliki kendali operasional resolusi konflik yang dapat melatih seluruh komunitas sekolah untuk terbiasa mengatur pola konflik di sekolah melalui skema pembelajaran yang efektif. Artinya, sekolah tak memiliki kemampuan dalam mengajarkan sekaligus mengkomunikasikan persoalan konflik dan kekerasan melalui mekanisme yang disepakati bersama oleh manajemen sekolah dalam sebuah bingkai pendidikan resolusi konflik.
Tricia S. Jones (2000), mendefinisikan pendidikan resolusi konflik sebagai "a spectrum of processes that utilize communication skills and creative and analytic thinking to prevent, manage, and peacefully resolve conflict". Pengertian ini memberikan gambaran umum kepada kita bahwa sebagaimana pendidikan pada umumnya, proses kreatif dalam menumbuhkan kemampuan berkomunikasi dan berpikir analitik harus menjadi angle para pengajar dan pendidik untuk mengajarkan resolusi konflik. Secara pedagogis, menimbulkan tindakan nyata adalah indikator efektivitas komunikasi dan berpikir kritis yang paling penting. Karena untuk menimbulkan tindakan, proses pembelajaran harus berhasil menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik. Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi dan berpikir kritis. Ini bukan saja memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses komunikaksi, tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku siswa dan pembelajar lainnya. Komponen komunikasi versi Harold D. Lasswell harus mampu terimplementasi dengan baik dalam proses belajar-mengajar.
Dalam prinsip pendidikan resolusi konflik, proses belajar-mengajar harus memiliki orientasi dan tujuan yang jelas. Salah satu kesalahan mendasar kita dalam mengelola urusan manajemen konflik di sekolah adalah ketiadaan assessment yang komprehensif tentang kebiasaan dan perilaku siswa dan guru dalam berkomunikasi, serta lemahnya tingkat kemampuan guru dalam memahami makna kurikulum sehingga seringkali tak ada keterkaitan (alignment) antara kurikulum yang tertulis dengan sistem evaluasi (test) atas tindakan yang dilakukan oleh siswa. Apalagi jika sistem evaluasi hanya sekedar ingin mengukur aspek kognitif siswa, maka kebebasan guru untuk melaksanakan desain kurikulum yang mereka kehendaki menjadi sangat minim.
Untuk itulah perlu diketahui oleh setiap manajemen sekolah tentang prinsip-prinsip dasar pengembangan kurikulum pendidikan konflik yang didasarkan pada serangkaian kegiatan yang memungkinkan lembaga pendidikan merumuskan sendiri kelemahan dan kelebihannya (school mapping), menentukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kapasitas guru dan kemampuan siswa (objectives and lesson design), memperbaiki sistem pengelolaan pembelajaran yang berkelanjutan dan efisien (scope and sequence), serta membuat rangkaian sistem monitoring dan evaluasi pembelajaran yang efektif-komprehensif (Jackson 1992).
Hanya dengan prinsip keterpaduan kurikulum (deep curriculum alignment) seperti inilah yang memungkinkan sekolah dapat mengimplementasikan pendidikan resolusi konflik secara maksimal, terutama dalam mempersiapkan kemampuan siswa untuk memahami dan  mengkomunikasikan gagasan resolusi konflik sebagai sebuah ilmu dan perilaku sekaligus. Salah satu keunggulan dari prinsip dasar deep curriculum alignment adalah, bahwa ketika dilakukan evaluasi atau test, seorang guru dapat memberikan gambaran secara utuh tentang jarak (gap) antara siswa yang satu dengan lainnya, terutama jika dilihat dari gaya komunikasi yang didasari kemampuan berpikir analitis siswa.
Kesepakatan tentang penanganan konflik di sekolah bukan saja penting untuk dimasukkan kedalam struktur kurikulum secara formal, tetapi juga bisa diskemakan ke dalam statuta sekolah yang mengatur segala urusan konflik secara jelas berdasarkan struktur sekolah yang efisien dan permanen. Membangun komitmen pendidikan damai, dengan demikian, adalah kata kunci yang harus dilakukan oleh seluruh civitas akademika sekolah dalam rangka merancang bangunan resolusi konflik yang memadai di lingkungan sekolah, agar anak-anak kita terhindar dari semua perilaku kasar dan keras di kemudian hari seperti yang kita lihat hari-hari terakhir ini.